Di sebuah
danau jernih yang terletak di tengah hutan, hiduplah dua sahabat baik: seekor
kura-kura bernama Kiro dan seekor siput bernama Kuji. Mereka
selalu bersama, bermain, bercerita, dan saling menjaga. Meski berbeda, keduanya
merasa cocok karena sama-sama penyabar dan suka hidup tenang.
Suatu
pagi, Kuji tiba-tiba ingin melihat suasana di luar hutan. Ia pun berpamitan
pada sahabatnya.
“Kiro,
aku izin keluar sebentar ya,” kata Kuji dengan lembut.
“Kau mau ke mana, Kuji?” tanya Kiro penasaran.
“Aku hanya ingin jalan-jalan sebentar, melihat suasana hutan. Nanti aku pasti
kembali,” jawab Kuji menenangkan.
Kiro menatapnya khawatir. “Apakah kau bosan tinggal bersamaku?”
Kuji tersenyum. “Tentu tidak, Kiro. Kau sahabat terbaikku. Aku hanya ingin
sedikit berkeliling saja.”
Kiro akhirnya mengangguk. “Baiklah, kalau begitu hati-hati di jalan, dan
cepatlah kembali. Aku akan menunggumu di danau.”
“Terima kasih, Kiro. Sampai nanti!” balas Kuji riang.
Kuji pun
berjalan santai menyusuri jalan hutan. Ia menikmati udara sejuk dan kicau
burung. Namun, suasana tenang itu terusik ketika tiba-tiba muncul seekor Kodok
yang terkenal suka mengadu domba.
“Hai,
siput lamban! Siapa namamu?” ejek Kodok sambil tertawa.
“Namaku Kuji,” jawab Kuji sopan.
“Kuji? Hm… apakah kau kenal kura-kura di danau itu?” tanya Kodok penuh tipu
daya.
“Tentu, dia sahabatku, namanya Kiro,” jawab Kuji bangga.
Kodok
menyeringai licik. “Kemarin aku bertemu Kiro. Dia bilang bosan berteman
denganmu. Katanya kau kecil, lambat, dan membosankan.”
Kuji
terdiam. Matanya berkaca-kaca. “Tidak mungkin Kiro berkata begitu…” bisiknya
lirih.
“Sungguh, aku mendengarnya sendiri!” kata Kodok meyakinkan.
Kuji pun
berjalan lesu. Hatinya dipenuhi keraguan dan sedih mendengar kebohongan Kodok.
Tak puas
menipu Kuji, Kodok pergi menemui Kiro.
“Halo, Kiro! Sedang apa kau di sini?” sapanya berpura-pura ramah.
Kiro mengernyit curiga. “Kau tahu namaku dari mana?”
“Aku bertemu Kuji tadi. Dia bercerita banyak tentangmu,” jawab Kodok pura-pura
serius. “Katanya kau pemalas, suka tidur, dan selalu merepotkannya. Dia bahkan
senang kau tidak ikut jalan-jalan.”
Kiro
terkejut. Hatinya sedih sekaligus bingung. Ia sempat bertanya-tanya, benarkah
Kuji berkata begitu? Namun, rasa sayangnya pada sahabat membuatnya tak percaya
sepenuhnya. Ia pun bertekad mencari Kuji untuk memastikan segalanya.
Di tengah
perjalanan, akhirnya mereka bertemu.
“Hai, Kuji! Syukurlah aku menemukanmu,” sapa Kiro dengan wajah ceria.
Kuji
ingin membalas, tapi hatinya masih teringat ucapan Kodok. Ia hanya diam.
Kiro melangkah mendekat. “Kuji, maafkan aku jika selama ini menyusahkanmu. Aku
tak percaya begitu saja pada Kodok. Karena itulah aku mencarimu—aku tak ingin
kehilangan sahabat terbaikku.”
Kuji
menatap Kiro haru. “Jadi… kau juga bertemu dengan Kodok?”
“Iya. Katanya kau menjelek-jelekkan aku. Tapi aku tahu, kita selalu berbagi
bersama. Aku percaya kau tak seperti itu,” jawab Kiro tegas.
Kuji
tersenyum lega. “Berarti benar, Kodok hanya ingin mengadu domba kita.”
“Ya, Kuji. Dan persahabatan kita terlalu kuat untuk dipecah belah,” kata Kiro
mantap.
Kuji pun
berkata, “Terima kasih sudah percaya padaku, Kiro.”
Mereka berdua saling tersenyum, lalu berjalan kembali ke danau dengan hati
riang.
Sementara
itu, dari kejauhan, Kodok yang mengintip merasa kesal karena rencananya gagal.
Namun, tanpa ia sadari, seekor ular besar muncul dari belakang semak.
Dalam sekejap, Kodok pun tertangkap.
Danau
kembali damai. Kiro dan Kuji bermain bersama lagi, dengan persahabatan yang
semakin kuat karena mereka tahu: sahabat sejati selalu percaya dan saling
menjaga. (Mujayanti)